Lampung Jalinbar 1995

Reff :
https://andretotheworld.wordpress.com/2013/09/13/jalan-lintas-barat-sumatera-ruas-lampung-bengkulu/

Sambil berusaha memejamkan mata, saya teringat saat pertama melintas jalur ini tahun 1995 atau 1996 (lupa tepatnya). Masih muda saat itu, karena “dipanasi” oleh ayah yang telah mencapai Bengkunat jalan darat dengan motor RC100 maka saya bertekad menembus hingga Krui bahkan Manna atau minimal Bintuhan di jalur Lintas Barat yang baru mulai dibangun menembus belantara. Kami berempat, saya yang membonceng Hasan si pemilik motor dan Benny membonceng Abe dengan 2 motor Suzuki Crystal, nekat berangkat.
.
Saat itu internet belum seperti sekarang, informasi mengenai jalan hanya bisa diperoleh di sekitar lokasi. Jika sekarang begal merajalela di jalan-jalan sepi maka bisa dibayangkan kondisi keamanan sekian puluh tahun yang lalu. Tapi kami akan melewati daerah pegunungan dan hutan yang secara logika tak kan ada begal yang mau mengambil motor bebek kami disana.
.
Pagi-pagi kami bergerak dari Kalianda singgah di Bandarlampung yang masih sering disebut Tanjung Karang – Teluk Betung. Dilanjutkan hingga Gisting untuk makan siang kesorean di warung sate yang merupakan makanan favorit disitu. Gisting adalah daerah pegunungan dan peristirahatan dari jaman Belanda. Ketinggian Gisting sekitar 600 meter dpl di punggung Gunung Tanggamus. Sampai titik ini masih perjalanan santai nan mudah apalagi entah berapa kali kami telah mencapai desa yang sekarang lebih tepat disebut kota kecil ini. Setelah Gisting kami singgah di Way Lalaan, telah pukul 15 sampai di air terjun yang tak jauh dari sisi jalan raya ini.
.
Karena perhitungan tak lagi bisa terus saat malam, maka diputuskan istirahat dan berenang di kolam air terjun. Kemudian mencari losmen di Kota Agung, sebuah kota kecil bagian dari Lampung Selatan saat itu namun kini terpisah hingga 4 Kabupaten jaraknya. Kota Agung juga merupakan ujung jalan aspal dari rute yang akan kami tempuh. Serta merupakan pertengahan jarak dari Kalianda ke Krui melalui Lintas Barat yang belum eksis saat itu. Di Kota Agung kami mendapat informasi penting mengenai jalur rawan ke depan.
.
Tiba di Kota Agung menjelang maghrib dan mudah ditemukan losmen sederhana yang kalau tidak salah ingat tarifnya sekitar 25-30 ribu permalam. Istimewanya Kota Agung adalah merupakan kota persinggahan kapal tanker raksasa yang tak bisa atau tak mau memasuki perairan Laut Jawa, sehingga di Teluk Semaka ini mereka sandar dan membagikan minyak yang dimuatnya ke tanker-tanker yang lebih kecil untuk kemudian diantar ke depo-depo Pertamina di seantero Nusantara. Karena itu Losmen banyak terdapat di kota ini.
.
Untuk peta jalurnya bisa lihat di google map dengan link berikut inihttp://g.co/maps/5f4wx lebih bagus kalo dilihat dengan opsi terrain on
.
Teringat bagaimana orang-orang di Kota Agung terperangah mendengar rencana kami ke Krui via Lintas Barat, jalan yang belum jadi. Bahkan banyak yang menyarankan kami berputar arah dan melalui Kotabumi saja yang artinya lewat Jalan Lintas Tengah Sumatera memutar arah ratusan Km. Info yang patut kami percayai adalah dari Polisi Sektor Kota Agung yang pos-nya bersebelahan dengan tempat kami makan malam.
.
“Kalau pakai (motor) bebek sih mending pulang dik… Atau lewat Kotabumi saja, daripada musti bermalam di tengah hutan” demikian saran beliau.
.
Dijelaskan lagi bahwa kami baru akan meneruskan perjalanan besok pagi tapi dia justru menambahkan meski badan jalan setelah terbentuk hingga Krui tapi ada beberapa sungai yang belum dibuat jembatannya, tak peduli jalan siang atau malam akan sangat riskan karena 3 sungai diantaranya lumayan lebar dan dalam. Hanya bisa dilewati saat kering padahal hujan di gunung di hulu sungai tak kenal musim, itulah saat kita harus menunggu surut kadang hingga 2 hari. Selain itu hanya jip dan trail saja yang mampu melintas air setinggi dengkul disaat kering tersebut, jelas polisi ramah tadi dan di-iyakan oleh seisi warung makan.
.
Wah semangat kami jadi kendur. Saya dan Benny, seorang rider dan motocrosser selaku pengendara utama berunding mengenai rencana besok berdasar keterangan yang ada. Menurut Benny, bebek kami bukanlah hambatan tapi justru kelebihan karena saat melintas sungai atau lumpur akan ringan digotong berdua. Co rider kami, Abe dan Hasan yang masih usia belasan termotivasi dengan Benny yang memang paling tua dan bisa diandalkan. Saya jadi ingat pengalaman beberapa tahun sebelumnya saat hendak mencapai Bayah di Selatan JaBar (kini Banten) saat itu terkendala sungai juga kemudian kesulitan menggotong Merzy untuk menyebrang. Apalagi body saya dulu tak lebih dari setengah kwintal.
.
Semangat kembali menyala mendengar pernyataan Benny. Dan saat melangkah kembali ke losmen kami dikejutkan dengan suara gemerincing yang ketika ditengok ternyata sebuah jip sarat muatan dan orang dengan ban diberi rantai penuh sisa tanah. Tak lama sebuah trail juga dengan rantai di rodanya memasuki Pasar Kota Agung yang masih ramai. Rupanya memang sekitar jam 7 malam banyak muatan hasil bumi masuk dari pegunungan dan dari Bengkunat -pemukiman di jalur yang akan kami lalui.
.
Nah ini baru sumber informasi yang akurat, serempak kami berpikir sama. Ya, supir jip atau pengendara ojek trail yang baru tiba adalah sumber info terkini. Bergegas kami temui mereka, pertama rider off road terhebat di dunia yang kami hampiri, ternyata dia dari gunung di sekitar saja dan mengangkut kopi 2,3 Kwintal dalam 3 karung goni ditambah 1 penumpang yang duduk diatas tumpukan karung tersebut, luar biasa! Rider offroad yang bangga dan memajang foto keren di facebook setelah melintasi gunung atau medan offroad sejauh belasan Km nampak seperti pemula yang baru belajar nyemplak disini. Yang lebih gila adalah penumpang nekat yang duduk sejajar leher pengendara motornya. Medan yang dilalui sungguh luar biasa kejamnya, licin tanah merah yang selalu basah lembab karena tertutup rimbun kebun kopi atau hutan (jangan tanya jika hujan barusan turun) dan demi mendapat tanjakan yang lebih landai mereka menyusuri punggung bukit yang berarti di Kiri dan Kanan adalah jurang. Meleset sejengkal saja di jalur gunung maka jurang sedalam puluhan hingga seratusan meter menanti.
.
.
Sambil menunggu jip dari Bengkunat yang biasanya tiba diatas waktu Isya, kami mengobrol dengan ojeker trail tadi, menurut ceritanya, ada ojeker yang jatuh ke jurang dan mayatnya tak pernah bisa ditemukan karena jurangnya sangat curam sedalam 200 meter lebih. Aneh pikir kami, setelah 2 hari pasti timbul bau dan mudah menemukannya. Jika lebih dari sehari tidak ketemu maka pencarian dipastikan gagal karena telah jadi santapan penunggu hutan, jelas sang ojeker. Satu lagi kami mendapat info bahwa sang penguasa hutan masih banyak berkeliaran disini. “Bisa meong atawa serigala jeng biruang kang” jawab ojeker yang anak transmigran dari Garut ini saat kami tekankan Harimau kah maksudnya.
.
Sayangnya dia belum pernah ke arah Bengkunat sejauh 60an Km,.
“trail sih tidak narik sejauh itu kang, kalo udah ada jalan yang bisa dilewatin jip kita oper disitu”.

.
Apalagi Bengkunat hasilnya adalah udang lobster jadi tak mungkin diangkut dengan motor. Tapi dia sering mendengar dari rekan jeeper yang dari sana bahwa hambatan tersulit adalah di puncak jalan di tengah Taman Nasional Bukit Barisan Selatan yang disebut Patok Seket (50) karena sangat curam dan belum diperkeras alias masih tanah merah. Dan justru di wilayah itu adalah perlintasan gajah. Dan gajah yang jika lewat berombongan ini kadang tidur atau main seenaknya di tengah (calon) jalan, tak bisa diusir begitu saja dengan klakson karena justru gajah-gajah ini akan marah.
.
Tunggu punya tunggu, jip dari Bengkunat tidak juga datang. Mungkin tak ada muatan atau ada kerusakan di jalan. Karena lelah dan nyali turun naik mendengar cerita horor di jalur yang akan kami lalui maka kami putuskan untuk tidur dan besok saja cari info lanjutan. Kebetulan bandar lobster tujuan muatan dari Bengkunat gudangnya di sebelah losmen kami sehingga mudah mencari sang pembawa kabar besok pagi, mengingat biasanya mereka tidur di gudang itu.
.
Pagi ketika kami bangun, pemilik losmen menyediakan kopi asli 100% dengan rasa jauh lebih nikmat dari seduhan Starbuck, ternyata ada penumpang dari Bengkunat yang menginap di losmen kami. Sumber info terkini yang segera kami wawancarai.
.
“Wah hampir celaka kami semalam” ujar pembukaan dari penumpang yang ternyata nelayan lobster yang hendak pulang ke Kalianda.
.
“Kemaren sore rombongan gajah melintas di patok seket dan kelihatannya mereka sedang marah, berulang-ulang teriak dan hilir mudik disitu”,
.
“rupanya pagi sebelumnya ada pengendara motor yang gugup sehingga menabrak salah seekor anak mereka yang sedang menyebrang dan bermain di jalan, tapi justru motor yang ringsek dan pengendaranya beruntung karena cepat dilarikan ojek lain”.
.
Seharian itu tak ada motor yang berani lewat karena takut jadi pelampiasan amarah induk gajah. Dan gajah yang memang pendendam bisa mencegat motor karena suara knalpotnya terdengar dari jauh. Trail disitu memang tanpa saringan knalpot demi menambah tenaga mesin. Tapi kondisi jalan bisa dilalui semua kendaraan karena telah dipasang batu pondasi hingga pasir batu kecuali sekitar 2 Km di Patok Seket. Waduh, bukan berita baik justru menambah horor saja….
.
Dan info tambahan bahwa jarak 100 km dari Bengkunat ke Krui yang sulit dilalui karena 5 sungai dan 2 diantaranya besar belum terjembatani. Juga info telah ada kampung di jarak tersebut, sekitar 5 kampung. Wah ini berita yang sedikit melegakan, dari 3 sungai besar berkurang jadi 2. Tapi info tentang 5 kampung dan sebuah tukang tambal ban di jarak 100 km cukup mengkuatirkan. Apalagi tambahan info tentang kampung atau disini disebut pekon, bahwa selepas Kota Agung sebaiknya tidak singgah di pekon manapun baik sebelum TNBBS dan terutama sesudahnya yang berarti antara Bengkunat hingga Biha di wayah Krui. Ditekankan jangan mampir di Pekon Negeri Ratu Ngambur, bahkan juga diingatkan oleh pemilik losmen yang berasal dari pekon dimaksud.
.
Kami berempat akhirnya berangkat jam 7.30 pagi dari Kota Agung, melintasi jalan bekas diaspal sekitar 20 Km, penuh lubang dan becek karena malam tadi hujan besar disini. Jam 9.30 kami terkaget-kaget dengan tanjakan yang menghadang, 45 derajat bahkan lebih padahal 20 Km sebelumnya relatif rata. Inilah Sedayu yang sempat disebut oleh sumber info kami tadi. Tapi kapasitas mesin 2 tak 110 cc sungguh mencukupi buat meliwati halangan ini, sebagai perbandingan trail enduro hanya 100 cc sanggup. Dengan yakin kami gas pol motor Suzuki yang bandel ini. Entah karena sudut piston yang menjadi lebih tegak di tanjakan ini atau sebab lain, bebek ini menjadi perkasa menaklukan tanjakan curam yang hampir tanpa putus sepanjang lebih kurang 5 Km. Beruntung telah diperkeras bagian jalan disini untuk memudahkan truk pengirim material pembuat jalan di atas.
.
.
Setelah mencapai akhir tanjakan kami beristirahat di pos pemantau TNBBS. Dan ternyata memang pos peristirahatan para pengendara motor. Sebelum jalan ini dibentuk pos ini berada di tengah hutan dan bisa memandang ke segala penjuru untuk melihat satwa liar sebagai pos para peneliti asing. Disini kami bertemu rombongan trail yang hendak dijual di daerah sekitar, ada sekitar 6 buah namun yang akan dijual hanya 3 dan sisanya buat para pengendara pulang ke Wonosobo, sebuah kecamatan setelah Kota Agung. Agak mengejutkan ternyata trail DT 100 bekas tahun perakitan 1970an ini dijual 2 kali lipat harga Crystal baru.
.
Tapi nilai itu sepadan mengingat saat itu tak ada trail keluaran terbaru, trail asli termuda adalah Binter KE125 yang merupakan motor pertama saya di tahun 1982 dan TS 100 MKN dari Suzuki tapi cukup berumur dan sulit onderdilnya. Ada Yamaha YT, jelmaan dari RX-S yg keluar baru saat itu namun dianggap ringkih oleh ojek gunung. Trail Yamaha ini didatangkan dari wilayah pegunungan Jawa Barat yang saat itu telah diaspal dan trail menjadi kurang berguna.
.
Dalam obrolan di pos peristirahatan kami tanyakan pada ojeker trail apakah mendengar berita gajah mengamuk dan mencegat motor-motor. Ya mereka tahu kabar itu dan sebabnya mereka memasang saringan knalpot ala kadarnya agar tidak berisik dan didengar gajah. Biasanya gajah hanya mengamuk seharian kecuali ada korban di pihak mereka, bisa berhari-hari tak ada yang berani melintas dengan apapun. Dan jalur laut menjadi alternatif bagi warga Bengkunat. Kekuatiran kami akan begal yang lebih dahsyat berupa sekelompok gajah sirna karena penjelasan rekan ojeker.
.
Sekali lagi kami diingatkan oleh mereka bahwa jangan mampir di Ngambur serta Ngaras dan jika air Way Bambang tinggi lebih baik balik ke Bengkunat daripada istirahat menunggu surut di kampung yang terletak di sisi sungai (way) tersebut. Terkesan mereka salut atas keberanian kami menggunakan bebek melintas disini namun juga tertawa kecil melihat kebodohan kami. Hal ini terbukti tidak jauh dari situ, disekitar Patok Seket jalanan seperti bubur tanah merah dengan kemiringan hampir 45 derajat menghadang, sebuah truk tersangkut 100 meter masuk di jalan tanah tersebut, mundur yang menurun tak bisa apalagi maju menanjak. Sebelum Patok Seket kami menjumpai juga banyak kotoran binatang sebesar tampah, itu bukti kemarin sang gajah bermain disini.
.
Rombongan trail dengan mudah melintas, yang tadinya kami salip di jalan keras kini mereka yang berjaya. Kami terseok-seok meter demi meter. Hingga akhirnya tersangkut tak bisa bergerak lagi karena ban sudah penuh dengan tanah yang memenuhi rongga spakbor. Baru sekitar 500 meter dan puncak tanjakan masih sekitar 500 meter di depan. Dengan sengaja kami lepas spakbor agar bisa meneruskan perjalanan. Ban pun kami kurangi anginnya agar lebih menggigit di lumpur. Penumpang, Abe dan Hasan jelas turun berjalan kaki yang lebih cepat dari motor.
.
Akhirnya kami sampai di puncak tanjakan. Dan terlihat jalur turun yang tidak lebih mudah dari menanjak. Kemiringan yang diukur dengan lensa kamera analog yang memiliki bulatan terbagi 8 di jendela bidiknya dan menembak pohon tegak, terlihat lebih dari 45 derajat tepatnya sekitar 60 derajat. Beruntung turunan ini hanya sekitar 100 meter, bak menuruni jurang. Sebuah Landcruiser Hardtop terlihat menyangkut di tebing setelah tak bisa menghentikan laju dengan rem dan terus merosot di licinnya tanah merah hingga sang supir memilih tebing sebagai rem paling pakem. Kami putuskan untuk merosot miring dengan melintangkan motor agar bisa sampai di bawah dengan selamat. Alhamdulillah akal bung Benny berhasil. Bahkan 2 dari rombongan trail tadi terjatuh ringan hingga kini kami berbarengan lagi. Mereka memuji akal kami menuruni tebing mayit, julukan tanjakan/turunan itu.
.
Alhasil sampailah kami di Bengkunat, sebuah bekas pelabuhan bagi kapal pengangkut kayu log. Dan memang mengenaskan situasi disekitarnya. Hutan telah habis dibabat dan tertinggal semak alang-alang sejauh mata memandang. Kewajiban pengusaha kayu hutan untuk menanam kembali tak dilaksanakan disini dan merupakan ladang pejabat kehutanan era orba meminta upeti. Jam sudah pukul 2 ketika kami tiba di Bengkunat. Penebangan kayu massif tak ada lagi disini tapi raungan mesin chain saw milik perorangan masih kerap terdengar.
.
Tanpa menghabiskan waktu kami istirahat minum kopi di warung yang tersedia bagi para pencari lobster dan makan bekal yang kami bawa dari Kota Agung. Perjalanan kami lanjutkan dengan target mencapai Krui sore itu juga. Keterangan dari posko jip di Bengkunat bahwa Krui bisa dicapai dalam 4 jam dan air sungai siang itu surut semua. Bergegas kami berangkat kembali.
.
Dan sesampai di sungai tanpa jembatan pertama adalah sungai kecil, dengan mudah kami lintasi air semata kaki lebih sedikit. Tantangannya cuma harus mengikuti alur bentukan arus air yang melengkung. Kemudian sungai selebar lebih dari 50 meter yang harus kami lewati. Dan sesuai pengalaman barusan maka penumpang berjalan menyebrang sembari mencari jalur tercetek buat sang bebek berenang. Sembari menunggu, sebuah jip dengan tenangnya melintas di jalur yang lurus saja diantara kedua ujung jalan. Ternyata di tengah kedalaman sungai menelan utuh roda jip tersebut. Karena panik sang supir mengendurkan gas maka tamatlah riwayat jip itu, mogok. Tak lama sebuah trail juga memintas di jalur sebelah jip itu yang lebih cetek, sekitar separo ban terendam tapi tetap ikut macet ditengah sungai. Pemantau jalan telah sampai di tepi dan jalur sudah bisa kami lihat juga akibat sibakan air oleh jip tadi. Tapi kesulitannya adalah jalur cetek itu berdasarkan tumpukan batu kecil bulat yang labil, bahkan jalan kaki pun dapat terpleset akibat batu bergelinding disitu, inilah sebab trail tidak mau melintas jalur itu.
.
Kami tak ada jalur lain, apalagi melihat trail pun mogok ditengah jalan. Atau gantian motor yang menaiki kami. Nekat sajalah, paling basah kuyup pikir kami. Sekaligus saya gas dan tiba diseberang dengan selamat meski ban belakang berjoget tidak keruan, tepuk tangan dari penumpang jip menyertai. Giliran Benny tancap gas dan ternyata dia melakukan aksi wheelie atau standing istilah kami anak jaman dulu. Dan seketika bergemuruh tepuk tangan dan teriakan horee dari penumpang jip dan beberapa penduduk yang berdatangan hendak menolong jip tadi. Dan ketika Benny tiba diseberang suit-siulan nyaring terdengar ramai. Semua orang memandang kami sembari angkat jempol, bangga rasanya.
.
.
Di sungai kedua pun begitu, hanya tak pakai aksi standing. Aksi kami turun miring/melintang di turunan ekstra curam dan pilih jalur di sungai akhirnya ditiru oleh ojeker trail disana. Dan kisah kami melintas dengan motor bebek pun menjadi legenda kecil disitu, tentu dengan bumbu luar biasa. Sekitar tahun ’99 telah banyak bebek Suzuki di wilayah itu. Hal ini saya ketahui ketika melintas lagi namun kali itu dengan jip Toyota LC Canvas pesanan pembeli di Bengkulu. Ketika mereka bercerita kehebatan kami dulu yang sudah lebih banyak bumbunya, saya hanya bisa tersenyum kecil dan tak mau menyebut bahwa yang mereka ceritakan adalah saya sendiri karena malu mengingat sebetulnya tidak sehebat itu yang kami lakukan. Dan hanya berkomentar “begitulah kalau orang kota, memang seperti ketakutan melewati jalan kampung tapi mereka lebih banyak akal jadi tetap bisa lewat meski lucu jadinya”.
.
Kejadian menarik terakhir di petualangan 1996 adalah ketika salah satu ban bocor di dekat pekon Ngaras yang juga diwanti-wanti agar tidak disinggahi. Terpaksa kami bongkar ban disitu. Dan tukang tambal terdekat adalah sekitar 30 Km di belakang yang telah kami lewati, pekon Siging yang juga pelabuhan kayu log. Atau di depan kemungkinan terbesar baru ada di Biha yang entah berapa puluh Km di depan. Di tengah belantara tak ada yang bisa kami tanya. Pilihan masuk akal adalah kembali ke Siging, berdua menunggu di lokasi dan dua lagi membawa ban bocor tersebut ke tambal ban. Resiko yang menunggu adalah berhadapan dengan warga Ngaras yang dikabarkan ganas dan tukang meracuni tamunya. Akhirnya setelah diundi Benny dan Abe ke tambal ban karena juga motor mereka yang bocor. Sementara saya menunggu dengan ketar-ketir. Sekitar 1 jam kemudian baru ada orang yang meliwati kami dan memandang dengan penuh curiga tapi setelah melihat motor kami tanpa ban belakang dia tak lagi menatap dan melajukan gerobak kerbaunya ke arah pekon Ngaras sekitar 2 Km masuk hutan dari rencana jalan Lintas Barat ini. Tak lama dua orang menghampiri kami dengan sepeda motor dan nampak beberapa orang berjalan dibelakang dari arah Ngaras. Matilah kami, pikir kami berdua. Pasti dengan garang kami akan diseret mereka dan dicekoki racun timex.
.
Tak disangka, kedua orang yang meghampiri kami menyapa ramah dan menyatakan ingin membantu atau menawari persinggahan untuk menunggu di rumah mereka sambil makan minum dulu. Haaah! Justru itu yang diwanti-wanti oleh semua orang untuk tidak kami lakukan baik di Ngambur atau Ngaras. Racun timex terkenal di seantero Lampung, awal 1980an daerah tempat tinggal kami di Kalianda juga terkenal akan kekejaman warganya memainkan racun ini. Hasan sebagai putra daerah Kalianda juga paham benar bahwa ada beberapa orang di sekitarnya yang suka meracuni orang tak dikenal jika tak ada musuh yang ingin dihabisi nyawanya. Ya pemelihara ilmu racun ini harus melancarkan aksi minimal 1 kali tiap tahun atau racun dimaksud akan menimpa dia atau keluarganya. Itu sebabnya mereka suka meracuni orang tak dikenal karena sedikit sekali orang, yang tahu mereka berilmu racun, berani memusuhi. Bahkan penganut tingkat tinggi dapat mengirimkan racun dari jauh tanpa harus bertemu.
.
Tawaran itu kami tolak dengan terbata-bata dan dipahami oleh mereka bahwa kami telah mendengar kabar yang salah atau menggeneralisir warga Ngaras dan Ngambur, kedua pekon bermarga sama “buay bejalan di way” atau arti harfiahnya komunitas berjalan di air. Mereka pun balik bertanya kami darimana, setelah tahu dari Kalianda mereka malah menyebut guru ilmu racun disitu adalah orang Kalianda atau orang Lampung menyebutnya Way Handak. Dan hanya segelintir orang yang menguasai ilmu itu disitu. Intinya cerita orang luar mengenai desa mereka adalah hoax. Ya tapi kalau yang segelintir itu adalah anda maka matilah kami, pikir saya… tawaran kami tolak dengan halus bahwa sebentar lagi rekan kami yang menambal tiba karena sudah 2 jam pergi. Dan mereka membenarkan tambal ban terdekat di Siging karena jika ke arah Biha lebih jauh, baru ada di Way Jambu sekitar 40 Km ke depan tepatnya di pangkalan kontraktor pembuat jalan ini.
.
Begitulah perjalanan petualangan awal melintas jalan Trans Barat Sumatra. Sesudah menambal ban masih ada masalah berupa kemalaman tiba di Way Jambu, tempat dimana bisa membeli bensin selain di Bengkunat dan Siging, tentu dengan harga luar biasa mahal. Ternyata setelah malam menjelang, sebuah motor tak hidup lampunya, mungkin putus terguncang dan satu lagi remnya tidak berfungsi akibat bongkar pasang ban tadi. Jadilah kami berjalan seperti orang buta dan orang pincang yang saling menuntun. Alhasil jam 11 malam kami baru tiba di Krui dengan sebuah motor ban luar belakang tersobek batu.
.
Rencana awal perjalanan akan diteruskan ke Manna di Bengkulu yang jalannya juga sedang dibuat menembus TNBBS sisi Utara. Kemudian baru putar arah pulang via Pagar Alam. Tapi kondisi keuangan sudah mepet, akibat harus beli ban baru, kanvas rem dan perbaikan lampu di Krui. Karenanya kami harus pulang via Liwa dengan singgah di Danau Ranau. Sebenarnya ke Krui bukan kali pertama tapi sudah ketiga kali, hanya sebelumnya lewat jalur normal via Kotabumi sebagaimana jalan pulang kali ini.
.
Update :
.
10 Februari 2020 :

Keluarga Besar Admin Pantai Laguna Samudra
CV.Alam Wisata Kaur..

.
Berduka 

.
Telah Berpulang Ke Rahmatullah Abang Andre Prihardi dia lah yg memberikan nama Pantai Laguna Samudra semoga dapat bernilai ibadah buat mu bang,Karena mu lah bnyk org yg mencari rezeki dilokasi Laguna.Semoga abg ditempat kan ditempat yg di Rahmati ALLAH S.W.T amiin

.
Reff :
https://facebook.com/PantaiLagunaSamudra
.
.
.
.

0812-8484-5152
andrepdarmono@yahoo.com
Almarhum . . . :(

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MUKTAMAR BLOGGER 2013 : KUMPUL MENDINGINKAN PIKIRAN

Cara Kalibrasi BB20 TROTEC Coating Thickness Measuring Instrument